Keprihatinan Seorang Nabi
dakwatuna.com - Di suatu waktu, terdengarlah “desah”
nabi Zakariya – ‘alaihis-salam -: “Ya Allah Rabb-ku, sesungguhnya
tulang belulangku sudah rapuh, kepalaku sudah menyala putih karena uban
dan istriku mandul. Namun, ada satu hal yang membuat diriku khawatir,
takut, cemas dan bersedih, yaitu, belum jelasnya seorang penggantiku,
pelanjutku dan pewarisku, dan aku tidak pernah berputus asa untuk terus
memohon dan memohon kepada-Mu, berikanlah kepadaku seorang pelanjut,
seorang pengganti dan seorang pewaris, yang melanjutkan misi dan
risalahku, misi keluarga besar nabi Ya’qub - ‘alaihis-salam -, pewaris
yang akan membimbing, membina dan mendidik Bani Israil, membimbing dan
membina mereka kepada ajaran-Mu”.
Bukan Soal Harta dan
Kedudukan
Apa yang menjadi keprihatinan dan kepedihan
nabiyullah Zakariya - ‘alaihis-salam – bukanlah soal masa depan makanan
dan logistik Bani Israil, sebab ia yakin betul bahwa rezki, makanan, dan
logistik Bani Israil sudah dijamin dan ditanggung Allah SWT.
Bukan
pula soal jabatan dan kedudukan duniawi mereka, sebab mereka pasti akan
menentukan pilihan mereka sendiri seandainya tidak ada ketentuan dari
Allah SWT, dan sepertinya peminat dalam hal ini sangatlah banyak.
Bukan
pula soal perjodohan laki dan perempuan di antara sesama mereka, sebab
fitrah dan naluri mereka telah cukup untuk menggerakkan mereka dalam hal
ini.
Bukan pula soal perhiasan-perhiasan dunia lainnya, sebab
semua manusia telah tercipta dengan membawa kecenderungan terhadapnya
.
.
Namun,
yang menggelisahkan, mengkhawatirkan dan memprihatinkannya adalah soal
statusnya sebagai juru dakwah, sebagai murabbi, sebagai pembimbing dan
sebagai pembawa masyarakat kepada jalan yang lurus, jalan para nabi dan
rasul, jalan para shiddiqin, syuhada dan shalihin, jalan yang telah
digariskan Allah SWT untuk dititi dan dirambah umat manusia.
Dan
pada kenyataannya, peran dan fungsi seperti inilah yang sedikit sekali
peminatnya, berbeda dengan peminat harta, tahta dan jabatan, sehingga,
meskipun pintu pendaftaran telah dibuka seluas-luasnya, berbagai bentuk
targhib (penggemaran dan iming-iming bagi yang mau melakukan) serta
tarhib (pemaparan hal-hal yang menakutkan bagi yang tidak mau melakukan)
sudah dikemukakan, reward and punishment sudah dipaparkan, pada
kenyataannya, yang mendaftarkan diri secara sukarela tetap saja sedikit,
minim dan tidak sebanding dengan para peminat dan pendaftar peran dan
fungsi lainnya.
Kenyataan seperti inilah yang membuat prihatin
nabiyullah Zakariya - ‘alaihis-salam -
Untuk itulah, beliau
sampaikan keprihatinan ini kepada Allah SWT, Dzat yang Maha Mendengar,
Dzat yang Maha Mengabulkan, Dzat yang Maha Pengasih, Penyayang dan yang
Maha Kuasa, Pencipta dan Pengatur seluruh alam.
Bukan
Hanya Sekali Dua Kali
Penyampaian keprihatinan seperti
ini bukan hanya sekali dua kali disampaikan nabi Zakariya -
‘alaihis-salam – kepada Allah SWT, tetapi, berkali-kali, sering dan
terus menerus. Dan meskipun tanda-tanda terkabulkannya tidak segera
kunjung tampak, namun dia terus menerus sampaikan keprihatinan itu,
tidak ada kata putus asa, tidak pernah pupus dan sirna harapannya “walam
akun bidu’aika Rabbi syaqiyya”.
Bukan hanya tidak berputus asa,
tetapi, selalu memanfaatkan waktu, tempat dan moment-moment istijabah
untuk mengulangi dan mengulangi lagi penyampaian keprihatinan dan
permohonannya. Oleh karena itu, pada suatu hari, saat ia memasuki mihrab
Maryam, dan dia dapati di sisi Maryam ada makanan dan minuman, dan
setelah dia mendapatkan kepastian bahwa makanan dan minuman itu datang
dari Allah SWT, yang berarti, kemungkinan besar, saat itu dan di tempat
itu baru saja turun rahmat Allah SWT, dan sangat mungkin rahmat itu
belum beranjak dari situ, maka seketika itulah sekali lagi ia panjatkan
keprihatinan dan permohonannya kepada Allah SWT, agar Dia memberikan
keturunan kepadanya, keturunan yang shalih, keturunan yang baik, yang
akan mewarisi dan menjadi pelanjut dari misi dan tugasnya. “Hunalika
da’a Zakariyya Rabbahu …”
Ia tidak peduli lagi dengan keadaan
dirinya yang tua renta, tidak peduli lagi dengan kondisi istrinya yang
mandul, yang secara teori tidak mungkin lagi memiliki keturunan, sebab
ia yakin, rahmat dan kekuasaan Allah SWT jauh di atas semua teori tadi.
Berqudwah
Kepada Nabi Zakariya
Al-Qur’an menceritakan kisah nabi
Zakariya - ‘alaihis-salam – bukan sekedar menjadi hiburan, namun, untuk
dijadikan ibrah, dan diikuti nilai-nilai ke-qudwah-annya.
Pos-pos
jabatan struktural, alhamdulillah telah terisi secara cukup dan bahkan
memadai.
Pos-pos jabatan publik, alhamdulillah banyak sekali yang
berminat.
Namun, berapa banyak yang bermimpi dan berminat menjadi
juru dakwah? Berapa besar pula minat dan animo masyarakat untuk menjadi
murabbi? Siapakah dan berapakah yang menyambut seruan banyak ikhwah di
daerah, di kampus, sekolah dan lainnya: “mana juru dakwah? Mana murabbi?
Silakan datang ke sini!”
Tidakkah situasi ini mendorong kita
untuk prihatin? Bersedih? Dan lalu mengadukannya kepada Allah SWT?
Tidakkah
kenyataan ini mendorong kita untuk bekerja bersungguh-sungguh dalam
menyiapkan dan memperbanyak jumlah juru dakwah dan murabbi? Sambil terus
menerus dan tidak henti-hentinya berdoa dan memohon kepada Allah SWT
agar memberikan ketegaran dan keteguhan (tsabat) kepada kita dalam
meniti jalan dakwah serta memudahkan segala urusan dakwah dan tarbiyah
ini?
“Wa inni khiftul mawaliya min wara-i… fahab li min ladunka
waliyyan yaritsuni…”
Barakallahu li walakum fil Qur’anil azhim
wanafa’ani waiyyakum bima fihi minal ayati wadz-dzikril hakim, amiiin.
Komentar
Posting Komentar