Mengamalkan Al-Qur’an, Mulainya Dari Mana?
dakwatuna.com - Al Qur’anul karim adalah kitab yang
diturunkan Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW. Al Qur’an merupakan
sumber rujukan paling utama bagi umat Islam, dan bagian dari rukun iman.
Al Qur’an adalah pedoman hidup dan rahmatan lil ‘alamin.
Artinya, barangsiapa yang mengaku dirinya sebagai muslim, maka sudah
sepantasnyalah dia mengamalkan apa-apa yang terdapat di dalam Al Qur’an.
Sudah
banyak para ulama, ustadz, kyai yang mengingatkan kepada kita agar
mempelajari dan mengamalkan Al Qur’an. Namun biasanya kita mengalami
kebingungan, dari mana harus memulainya? Mana titik tolak yang harus
ditempuh ketika ingin segera mengamalkan Al Qur’an? Karena kebingungan
ini, tidak sedikit umat Islam yang akhirnya justru tidak mengamalkan Al
Qur’an, sehingga jauh dari nilai-nilai Islam.
Syeikh Yusuf
Qaradhawi menyebutkan, paling tidak ada 2 hal yang harus ditempuh agar
kita dapat mengamalkan Al Qur’an dengan baik dan benar.
Pertama,
kita harus memulainya dengan mengimani Al Qur’an dahulu secara kaffah,
menyeluruh, totalitas, tanpa tawar-menawar.
Tanpa
iman kepada Al Qur’an, maka dipastikan akan sulit mengamalkan isi Al
Qur’an. Sekedar intermezzo, beberapa pesantren di Indonesia selain
membahas Al Qur’an juga banyak sekali yang membahas kitab kuning. Kami
bukan hendak mempermasalahkan isi dari kitab kuning, namun proporsi
pembahasan kitab kuning kadang kala melebihi pembahasan Al Qur’an itu
sendiri. Waktu mereka lebih banyak dihabiskan untuk membahas kitab
kuning ketimbang Al Qur’an. Sehingga kandungan-kandungan Al Qur’an
justru jarang diamalkan, karena kurangnya iman kepada Al Qur’an. Mereka
lebih dekat kepada kitab kuning ketimbang Al Qur’an.
Iman kepada
Al Qur’an berarti beriman kepada seluruh kandungan yang ada di dalamnya,
yang berupa aqidah, ibadah, syiar, akhlaq, adab, syariat, dan muamalah.
Seorang muslim tidak boleh hanya mengambil sebagiannya saja, misalnya
dia hanya mengambil bagian aqidah, namun menolak bagian ibadah. Atau dia
mengambil bagian syariat, namun menolak aqidah. Atau dia mengambil
bagian ekonomi, namun menolak bagian politik, atau pensyariatan bagi
segala urusan. Dan seterusnya.
Mengenai hal ini, ada beberapa
contoh kasus, di mana ada sebagian umat Islam yang mengimani sebagian
ayat-ayat Al Qur’an, namun menolak sebagian ayat-ayat yang lain.
Misalnya mengenai ayat tentang wajib berpuasa Ramadhan. Allah SWT
berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ
الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ ﴿١٨٣﴾
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan
atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas
orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa…” (QS. Al Baqarah:
183).
Ketika mendengar ayat ini, maka seorang muslim mengatakan
kami dengar dan kami taat. Mereka melaksanakan puasa Ramadhan. Namun
ketika Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ۖ الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ
بِالْعَبْدِ وَالْأُنثَىٰ بِالْأُنثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ
شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ۗ
ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدَىٰ بَعْدَ
ذَٰلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ ﴿١٧٨﴾ وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا
أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ ﴿١٧٩﴾
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf
dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan
dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qishaash
itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang
berakal, supaya kamu bertaqwa.” (QS. Al Baqarah: 178-179).
Mereka
bimbang dalam melaksanakan hukum qishaash. Bahkan menjadikan
hukum ini sebagai bagian dari syariat Islam yang menyeramkan. Padahal
ayat tentang qishaash ini urutannya ada di 4 ayat sebelum
kewajiban berpuasa, namun mengapa mereka hanya mengimani kewajiban
berpuasa saja? Dan lagi, padahal bentuk kalimat mewajibkannya juga sama,
yaitu dengan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ ….
لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu ….. dst … agar/supaya kamu bertaqwa”.
Namun
mengapa mereka hanya mengimani sebagiannya saja? Mengapa?
Contoh
kasus lain adalah dalam pelarangan riba. Allah SWT berfirman:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ
الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ ﴿٢٧٨﴾
“Hai orang-orang yang
beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Al Baqarah: 278).
Kaum
muslimin percaya tentang ayat ini. Namun ketika dalam pelaksanaannya,
mereka berpikir lagi, bagaimana mungkin mendirikan bank tanpa riba?
Adakah untungnya mendirikan bank tanpa riba? Padahal Allah SWT sudah
jelas-jelas memerintahkan kita untuk meninggalkan riba.
Akhirnya
Allah SWT memberikan pelajaran berharga kepada umat Islam, khususnya di
Indonesia, ketika terjadi krisis moneter 1998. Ketika itu perekonomian
Indonesia yang dibangun di atas sistem ribawi hancur berantakan.
Semenjak itulah umat semakin sadar akan buruknya riba dan mulai melirik
kembali sistem ekonomi Islam. Sehingga bank-bank syariah dan sistem
ekonomi syariah mulai bermunculan.
Contoh kasus lain, adalah ayat
tentang ta’adud (poligami). Allah SWT berfirman:
وَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم
مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا
تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ
أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا ﴿٣﴾
“Dan jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana
kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu
miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya.” (QS. An Nisaa: 3)
Para muslimah / akhwat
meyakini ayat ini, tentang dibolehkannya poligami hingga 4 istri, namun
masih ragu dalam menerapkannya. Berbagai alasan dilontarkan ketika akan
menghadapi hal ini.
Mengimani Al Qur’an berarti mengimani
seluruhnya tanpa kecuali. Karena Al Qur’an adalah satu kesatuan yang
utuh. Antara ayat satu dengan yang lainnya saling bertautan, dan saling
melengkapi. Dengan mengimani Al Qur’an seperti ini, maka insya Allah
mudah dalam mengamalkannya.
Kedua, yaitu dengan memberikan
perhatian kita kepada apa-apa yang ada atau
yang diperhatikan oleh Al Qur’an.
Misalnya perhatian Al
Qur’an terhadap anak-anak yatim. Banyak sekali ayat Al-Qur’an yang
menyebutkan tentang anak yatim. Rasulullah sendiri lahir dalam keadaan
yatim. Ini menandakan bahwa anak yatim patut mendapatkan perhatian
serius dari kita, dan ini adalah hal yang sangat penting. Maka sudah
sewajarnyalah kita, dan juga negara, untuk tidak menelantarkan anak-anak
yatim. Selain anak-anak yatim, dalam Al Qur’an juga terdapat perhatian
terhadap memberi makan orang-orang miskin.
Contoh lain, adalah
tentang menikah. Islam itu tidak “cuek” dengan orang-orang yang masih
bujang/gadis. Allah SWT berfirman:
وَأَنكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنكُمْ
وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِن يَكُونُوا فُقَرَاءَ
يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِن فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ ﴿٣٢﴾
“Dan
kawinkanlah orang-orang yang sedirian di antara kamu, dan orang-orang
yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan
hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan
memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya)
lagi Maha Mengetahui.” (QS An Nur: 32)
Perhatian Al Qur’an
terhadap orang-orang yang sendirian dan orang-orang yang sudah layak
kawin, menandakan bahwa mereka (para bujangan/gadis) juga harus
diperhatikan oleh kaum muslimin. Mereka musti dicarikan pasangan hidup
(dinikahkan), bukan justru diajari pacaran atau berzina dengan berbagai
covernya.
Ada 2 hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini, yaitu.
1.
Perkara yang menjadi perhatian Al Qur’an berarti merupakan perkara
penting.
Itulah mengapa para
ustadz-ustadz atau kyai-kyai yang sering berceramah, seolah-olah tidak
pernah kehabisan bahan untuk berceramah. Karena hal-hal penting yang
harus mereka sampaikan semuanya sudah ada di dalam Al Qur’an. Muslim
secara umum pun seharusnya juga demikian, tidak sulit dalam berdakwah,
karena hal-hal yang perlu disampaikan dalam dakwah, semuanya sudah
dicantumkan dalam Al Qur’an.
Kita ambil satu contoh tentang
perkara penting yang ada dalam Al Qur’an, yaitu mengenai malam Lailatul
Qadr.
إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ﴿١﴾ وَمَا أَدْرَاكَ مَا
لَيْلَةُ الْقَدْرِ ﴿٢﴾ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ ﴿٣﴾
تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ
أَمْرٍ ﴿٤﴾ سَلَامٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ الْفَجْرِ ﴿٥﴾
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkannya (Al Qur’an) pada malam kemuliaan (lailatul
qadr). Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu
lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan
malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan.
Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al Qadr:
1-5).
Dengan adanya perhatian Al Qur’an pada lailatul qadr, maka
perhatian kita juga jangan sampai terlewatkan dengan yang namanya
lailatul qadr, karena dia adalah malam yang begitu penting, malam
kemuliaan, sekali dalam setahun.
2. Prioritas yang
diberikan oleh Al Qur’an menunjukkan prioritas pengamalannya.
Contoh
mengenai hal ini adalah tentang kisah Bani Israil yang selalu disebut
berulang-ulang dalam Al Qur’an. Ini menunjukkan betapa pentingnya,
betapa urgen (prioritas)nya kita dalam memberikan perhatian terhadap
kaum yang satu ini. Oleh karena itulah tidak layak bagi suatu negeri
yang mayoritas berpenduduk muslim untuk menjalin hubungan dengan kaum
Yahudi (Bani Israil), karena mereka adalah bahaya laten.
Apalagi
Allah SWT berfirman,
وَلَن تَرْضَىٰ عَنكَ الْيَهُودُ وَلَا النَّصَارَىٰ
حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ إِنَّ هُدَى اللَّهِ هُوَ الْهُدَىٰ ۗ
وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُم بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ
مَا لَكَ مِنَ اللَّهِ مِن وَلِيٍّ وَلَا نَصِيرٍ ﴿١٢٠﴾
“Orang-orang
Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti
agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk
(yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka
setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi
pelindung dan penolong bagimu.” (QS. Al Baqarah: 120)
Contoh
lain mengenai prioritas adalah tentang thaharah (bersuci), shalat &
zakat, serta puasa. Thaharah diterangkan dalam Al Qur’an hanya beberapa
kali saja, contohnya dalam surat Al Maidah ayat 6. Sedangkan Al Qur’an
menerangkan tentang shalat dan zakat berkali-kali. Lalu tentang puasa,
Al Qur’an juga menyebutkannya berkali-kali, namun tidak lebih banyak
dari shalat dan zakat. Ini semua menandakan skala prioritas dalam
pengamalan (pengajaran)nya. Ketika Al Qur’an menunjukkan sebuah indikasi
prioritas, maka di situlah terdapat skala prioritas.
Contoh-contoh
di atas hanyalah sebagian kecil dari apa-apa yang terdapat di dalam Al
Qur’an. Kalau kita bahas seluruhnya, niscaya artikel ini tidak akan
kelar-kelar di tulis.
Demikianlah, dua hal yang harus kita mulai
dalam mengamalkan Al Qur’an. Yaitu dimulai dari mengimaninya secara
menyeluruh, lalu memperhatikan apa-apa yang diperhatikan oleh Al Qur’an.
Ayo kita amalkan Al Qur’an.
—Saran buku bacaan:
- Bagaimana Berinteraksi dengan Al Qur’an (Yusuf Qaradhawi)
- Klasifikasi Kandungan Al Qur’an (Choiruddin Hadhiri SP)
Komentar
Posting Komentar